Kamis, 18 Januari 2018

Contoh cerpen


Mulih ke Pekarangan Wayah
Sukranata XII JB1

Ketika kutanyakan pada awan yang melintasi langitku, hanya gemuruh petir yang kudengar. Bukan jawaban yang kuterima, ketika kutanyakan pada angin malam, hanya kesunyian yang kuterima. Caci makian sudah menjadi makanan setiap hari aku. Keluargaku dulunya bahagia, di selimuti canda tawa, aku hanya bisa berdoa agar keluargaku kembali.
Suamiku meninggalkan aku. Ia tidak peduli dengn aku lagi. Ia membiarkan aku menangis sesenggukan.
Suamiku tergoda pada teman aku sendiri. Dewi sahabatku dari kecil yang begitu baiknya dulu ke pada aku. Hampir setiap hari dewi datang kerumah kami. Ia bawakan anak anakku oleh-oleh, sesekali ia berkata aku beruntung mendapatkan  Bli Butu, ia juga memuji bli Putu. Bli Putu katanya baik, ganteng. Namun aku tidak memperdulikan kata-kata Dewi. Aku anggap omongan Dewi hanya tong kososng nyaring bunyinya. Namun dugaan aku terbalik, melainkan Dewi bermain hati di belakang aku. Aku mengetahuinya ketika HP Bli Putu berdering di atas meja makan, aku dengan sigap melihat HP Bli Putu. Hal itu aku melihat Bli Putu mendapatkan BBM dari Dewi. Aku tanyakan ke Bli Putu, namun Bli Putu tidak mengakuinya.
            Janji suci yang pernah aku dan Bli Putu panjatkan di hadapan keluarga, di hadapan Ratu Pedanda terasa sirna dengan pelannya.
            Hari itu aku pernah mengikuti Bli Putu berangkat kerja ke kantornya. Suamiku bekerja di sebuah cafe di daerah pariwisata. Aku mengira Bli Putu akan memulai pekerjaannya ketika memasuki cafe tersebut, namun betapa kagetnya aku melihat Bli Putu bercumbu dengan Dewi di depan pintu cafe. Aku berusaha mendekati Bli Putu, namun ia mengusirku seperti mengusir hewan tak bertuan. Ia tidak merasa bersalah, begitu juga dengan Dewi. Bukan kata maaf yang kuterima, melainkan pemandangan cumbu bibir yang ku lihat. Mereka dengan senangnya memasuki cafe dengan menghiraukan aku.
            Hari terus berlalu dengan drama hidup yang ku alami. Sesekali terlintas di pikiran aku untuk pulang ke pekarangan tua dan mengadu ke orang tuaku, namun aku tidak berani. Anak anakku yang ku pikirkan.
            Pada siapa aku harus mengadu? Pada matua aku, apalagi pada matua aku, aku telah di anggap tidak ada di keluraganya. Aku hanya seperti pembantu di rumahku. Matua aku telah terpikat dengan kata kata manis Dewi. Memang keadaan ekonomi aku ketika belum memanjatkan janji suci lebih kurang dari Dewi. Matua aku lebih senang melihat Dewi dengan ekonominya yang melimpah.
            Aku anak terkahir dari empat bersaudara. Aku mestinya menjadi anak yang berbakti pada orang tua. Bapak memekku menaruh harapan besar padaku. Aku semestinya menjadi anak yang suputri.
            Jujur aku akui. Aku menikah dengan keadaan buncit di perutku. Ketika aku masih remaja, Bli Putu memeberikan kata kata gombalan yang mampu memikat hati aku. Namun hari itu pun terjadi. Kejadian yang tak bisa kulupakan. Prinsip hidup aku sebelum bisa membahagiakan bapak memekku aku tak akan menikah. Tetapi hidupku berbalik.
            Awal pernikahan memang membahagiakan. Aku seperti Ratu yang dimanjakan. Setiap Bli Putu pulang bekerja ia membawakan oleh oleh untuk aku. Sambil mengelus perutku yang terus membuncit. Sekalipun tak ada kata-kata kehancuran, kebencian dipernikahan kami.
Tapi itu dulu. Sekarang telah berubah. Seolah aku tak ada kedudukan di keluargaku.
Hal yang lebih menyakitkan. Hal hal yang pernah terlintas di pikiranku pun terjadi. Aku di suruh pulang! Lantas kemana aku akan pulang? Ke rumahku yang dulu. Tidak mungkin. Orang tuaku sudah menaruh harapan besar padaku. Jika aku pulang ke rumahku dulu, mungkin aku akan di asingkan dari dadiaku, apalagi aku telah berpamit pada leluhurku.
            Bli Putu semakin hari memperlakukan aku seperti pembantu. Dewi semakin beraninya diajak pulang kerumah. Dewi juga sudah tidak lagi menganggapku sebagai sahabatnya. Ia sudah terpenuhi impiannya bersama suamiku Bli Putu.
            Aku dengan meneteskan air mata bertekad besar kembali pulang ke pekarangan tua ku bersama anak anaku. Aku tidak memperdulikan apa yang akan terjadi di rumahku dulu
“pergi kau dari sini, aku sudah punya pendamping yang baru, kau sudah tidak berarti disini!”
“baiklah Bli, aku akan pulang ke rumahku dulu, kita akhiri tali pernikahan kita”
Mereka dengan sontak bertepuk tangan melihat aku pulang.
Di perjalanan aku menghitung keputusanku. Apakah aku sudah benar pulang kerumah sesekali aku memeluk anakku yang masih berumur sembilan tahun. Apakah masa depanku akan cerah kembali. Aku lewati jalan menuju rumahku. Keluarga besarku melihat aku dengan heran. Mungkin di benak mereka berpikir” mengapa aku pulang membawa tas dan anakku”
            Biarkan saja, hal seperti itu terus aku ucapkan di dalam hatiku.
Aku sampai di rumahku dulu. Namun keluarga ku semuanya diam melihatku. Raut wajah di mereka semua nampak marah.

Tidak ada komentar:

Menyama Braya