Senin, 26 Februari 2018

Menyama Braya


Menyame braya




Nah ,sekarang kita akan membahas salah satu tradisi di Bali yang sudah kental di darah masyarakat Bali. Menyama Braya adalah adalah satu kata untuk setiap kegiatan yang di lakukan dengan bergotong royong. Menyame Braya di Bali sudah sangat kental dengan darah warga Bali.
Beberapa kegiatan yang dilakukan secara rasa Menyama Braya antara lain:
1. Membuat bangunan suci
2. Membuat bangunan rumah
3. Melayat orang meninggal
4. Acara perkawinan
5. Di kabupaten Karangasem ada salah satu kegiatan yang di dasari dengan rasa menyame Braya yakni Megibung(magi buung)




Jumat, 26 Januari 2018

Lipatan napkin(folding napkin) dasar

Kalian pasti pernah berpikir ketika makan ke restorant di table ada kain yang di lipat begitu cantik ,itu namanya folding napkin
Ini ada beberapa lipatan napkin dasar untuk variasi dan di glass begitu juga untuk underliner


gbr small candle

gbr pinguin(glass)

gbr candle fanfold(glass)

gbr atrium laly

gbr buterfly

gbr jacket(underliner)

gbr pyramid

gbr buffalo(piring)

gbr rose mini

gbr tree corn/open banana

gbr crown

gbr squid

gbr bishop maitre

gbr standing fan

gbr norwegian

gbr bird of paradise

gbr ballarena

gbr rose(underliner)

gbr candle

Jumat, 19 Januari 2018

anyaman tradisional"SAAB"



Nah untuk  kegiatan hari ini yakni saya akan membahas salah satu tradisi turun menurun di banjar sadimara desa ababi, abang, karangasem
Yakni menganyam  SAAB  dari daun rotan atau ental

Kegiatan menganyam sebagian besar di tekuni perempuan di desa tersebut namun tidak kalah juga para pria yang mengambil pekerjaan tersebut sebagai sambilan.
Fungsi anyaman tersebut antara lain;
1.       Sebagai sumber pendapatan
2.       Sebagai tutup makanan
3.       Sebagai hiasan penjor hari raya
4.       Sebagai hiasan dekorasi, dll
Anyaman saab banyak jenisnya di antaranya
1.       Saab cenik
2.       Saab tanggung
3.       Saab jering
4.       Saab lonceng
5.       Saab biasa
Kali ini saya akan membahas  saab lonceng
Saab lonceng dalam pembuatannya sama dengan anyaman saab yang lainnya tetatpi yang membedaka yakni dalam menganyam di bagian pakan sai sama pakan biasa(dalam bahasa di daerah tersebut)
Cara dan bahan membuat saab lonceng
1.       Pisau
2.       Daun ental atau lontar
3.       Kater kecil/silet
CARA MEMBUAT
1.       Iris daun ental/lontar menjadi kecil memanjang
2.       Potong irisan tadi menjadi 3 bagian
IMG_20180119_153351.jpggbr.pakan sai
IMG_20180119_153410.jpg gbr. Pakan biasa/pakan barak/putih
IMG_20180119_153401.jpggbr.penanjung

3.       Kemudian ambil penanjung 5 helai dan bentuk seperti
IMG_20180119_160501.jpg

IMG_20180119_153428.jpg

4.       Kemudian tanjungan yang sudah jadi di pakan sai seperti ini jadinya
IMG_20180119_153433.jpg

5.       Dan langkah selanjutnya yaitu pakan biasa/barak/putih dengan tahapan pengikut yaitu ngulat dengan menaik turunkan pakanan dan pakanan yang sudah jadi sebelumnya seperti menganyam tikar.
Dengan tumpukan sebanyak 4
IMG-20180119-WA0002.jpg

Saab lonceng adalah saab dengan saud 1


Kamis, 18 Januari 2018

Contoh cerpen


Cinta Terhalang Kasta Haus dengan Pendidikan.

Gadis terkadang tersenyum. Terlihat ekspresi bahagia diraut wajahnya. Gadis, wanita yang cantik yang tinggal di kampungnya, dia hidup sebatang kara denga ibunya.  Kecantikan gadis sudah tidak asing lagi di kampungnya, kerajinan gadis membantu ibunya di sawah memang kegiatan setiap hari Gadis.
Memang Gadis menjadi gadis yang yang telah berhasil membanggakan orang tuanya, anehnya Gadis merasa sedih oleh pendidikannya. Ketika hari mulai berganti ,Gadis berangkat ke ladang sawahnya yang di garap oleh ibu dan Gadis, di sana Gadis merasa kepedihan di hatinya bertambah ketika melihat teman-teman sebayanya menggunakan seragam putih abu yang membungkus badannya, namun Gadis berusaha menyembunyikan kepedihannya dari ibunya.
Gumpalan gumpalan awan hanya terlihat melintas di atas ladang Gadis, hari menandakan akan turun hujan, Gadis dan ibunya bergegas untuk pulang.
Hari terus berlalu dengan problematika hidup yang di alami Gadis.
Sebagai orang yang meridukan bangku sekolah, Gadis berusaha belajar dari pengalamnnya, akan tetapi Gadis tidak bisa menyembunyikan keinginannya untuk menempuh seragam putih abu, Gadis pun mencritakan ke ibunya di sela-sela menggarap ladang sawahnya
“ibu, Gadis sebenarnya sudah dari lama menyembunyikan cita-cita Gadis”
“iya anakku, Gadis mau mencritakan apa ke ibu”
“ibu, Gadis sangat ingin melanjutkan pendidikan ke seragam putih abu
Jika itu permintaan Gadis, ibu tidak bisa mengabulkannya Gadis, Gadis sudah tahu keadaan ekonomi kita, namun ibu bisa berpesan kepada Gadis”
“iya ibu”
“anakku engkau sudah membantu ibu di sawah menggarap tanaman padi ini, lihat Gadis tanaman padi kita sudah menguning, itu tandanya sudah mau panen”
“iya Gadis tahu itu ibu”,raut wajah sedih
“ya, namun kebanyakan orang menganggap semua sperti itu, namun sebenarnya di balik tanaman padi yang sudah menguning itu ada sebuah pengajaran, lihatlah tanaman padi ada yang merunduk ada yang tegak, sebenarnya semakin buah padi berisi dia akan merunduk, begitu juga sebaliknya jika buah padi tidak berisi maka dia akan tetap tegak, jika kita samakan dengan manusia sekarang, manusia yang semakin ber ilmu dia akan berjalan merunduk, begitu juga sebaliknya anakku’
“kenapa begitu ibu?”
“itulah problematika hidup anakku, karena orang yang berjalan merunduk mau melihat orang yang berada di bawahnya, sedangkan orang yang tidak ber ilmu dia akan berjalan tegap namun tidak mau melihat yang di bawahnya.”
Gadis merasa bahagia mendengar nasihat ibunya, Gadis mendapatkan pelajaran dari kegiatan setiap harinya.
Di pagi hari yang cerah, Gadis berangkat ke ladangnya, Gadis tak menduga akan berjumpa seorang lelaki, ia pun dengan berani menyapa lelaki itu dengan senyuman. Hai kamu yang ada di sebelah sana”ujar lelakai itu.
Dengan bangganya lelaki itu berkata siapa namamu gadis.
“nama aku yang kamu sebutkan”sahut Gadis
“siapakah kamu, apakah kamu gadis” ujar lelaki itu
“iya nama aku Gadis, kamu orang asing kan?’ tanya Gadis
“iya aku pendatang baru di kampung ini, nama aku Gusti “.
Sapa salam terjadi di anatara mereka berdua, hari terus berlalu yang dialami Gadis dengan Gusti
Gusti merasa senang bertemu dengan seorang gadis yang begitu rajin, anehnya Gusti merasa hatinya terpikat kepada gadis yang di jumpainya setiap pergi ke ladang, akan tetapi Gusti ingin menggungkapakan semua kejadian ke ajiknya
Begitu pula dengan Gadis, terlihat raut wajah bahagia terlintas di wajah Gadis ingin sekali mengungkapakan rasa hatinya ke pada ibunya. Problematika hidup terus berlalu.
Hari itu pun terjadi, Gusti mempunyai kesempatan untuk mengenalkan Gadis ke Ajiknya, di benak Gusti terlintas “inikah di namakan cinta” yang selalu di idanmkan semua orang dengan memuja dewi semara.
“ajik aku membawa seorang gadis, yang begitu rajin sifatnya, hari-hari terus aku jalani dengan bertemu dengan dia di ladang sawah, aku ingin menjadikan ia pacar gusti Ajik” dengan bangganya Gusti berkata
“sebelum Ajik menyetujui kehendak kamu, Ajik harus tahu latar belakang wanita itu”ujar Ajiknya
Ajik Gusti merasa terkejut ketika mengetahui latar belakang gadis, seorang gadis desa yang hanya pendidikan putih biru, disana ajik Gusti dengan tegasnya melarang Gusti bertemu kembali dengan Gadis.
“Anakku, kamu ketahui kita dari kaum Bangsawan, sangat rendahkah jika kamu meminang gadis desa itu, dimana letakkan derajat kita!”
“maaf Ajik, cinta tidak memandang kasta”
“akan tetapi ajik bisa mencarikan gadis yang sederajat dengan kita”
“iya ajik, Gusti mengerti”
Ajik sontak bertepuk tangan. “Horeeee! Terima kasih Gusti. Terima kasih.
Gadis merasa terenggut jiwanya mendengar semua perkataan Gusti. Lupus sudah harapan Gadis, dia mencritakan semua kepada ibunya. Lelaki yang di harapkannya sudah berpulang, hanya ibunya yang dimiliki nya sekarang. Cinta hanya menjadi angan angan gadis.


                                                                                               

Contoh cerpen


Mulih ke Pekarangan Wayah
Sukranata XII JB1

Ketika kutanyakan pada awan yang melintasi langitku, hanya gemuruh petir yang kudengar. Bukan jawaban yang kuterima, ketika kutanyakan pada angin malam, hanya kesunyian yang kuterima. Caci makian sudah menjadi makanan setiap hari aku. Keluargaku dulunya bahagia, di selimuti canda tawa, aku hanya bisa berdoa agar keluargaku kembali.
Suamiku meninggalkan aku. Ia tidak peduli dengn aku lagi. Ia membiarkan aku menangis sesenggukan.
Suamiku tergoda pada teman aku sendiri. Dewi sahabatku dari kecil yang begitu baiknya dulu ke pada aku. Hampir setiap hari dewi datang kerumah kami. Ia bawakan anak anakku oleh-oleh, sesekali ia berkata aku beruntung mendapatkan  Bli Butu, ia juga memuji bli Putu. Bli Putu katanya baik, ganteng. Namun aku tidak memperdulikan kata-kata Dewi. Aku anggap omongan Dewi hanya tong kososng nyaring bunyinya. Namun dugaan aku terbalik, melainkan Dewi bermain hati di belakang aku. Aku mengetahuinya ketika HP Bli Putu berdering di atas meja makan, aku dengan sigap melihat HP Bli Putu. Hal itu aku melihat Bli Putu mendapatkan BBM dari Dewi. Aku tanyakan ke Bli Putu, namun Bli Putu tidak mengakuinya.
            Janji suci yang pernah aku dan Bli Putu panjatkan di hadapan keluarga, di hadapan Ratu Pedanda terasa sirna dengan pelannya.
            Hari itu aku pernah mengikuti Bli Putu berangkat kerja ke kantornya. Suamiku bekerja di sebuah cafe di daerah pariwisata. Aku mengira Bli Putu akan memulai pekerjaannya ketika memasuki cafe tersebut, namun betapa kagetnya aku melihat Bli Putu bercumbu dengan Dewi di depan pintu cafe. Aku berusaha mendekati Bli Putu, namun ia mengusirku seperti mengusir hewan tak bertuan. Ia tidak merasa bersalah, begitu juga dengan Dewi. Bukan kata maaf yang kuterima, melainkan pemandangan cumbu bibir yang ku lihat. Mereka dengan senangnya memasuki cafe dengan menghiraukan aku.
            Hari terus berlalu dengan drama hidup yang ku alami. Sesekali terlintas di pikiran aku untuk pulang ke pekarangan tua dan mengadu ke orang tuaku, namun aku tidak berani. Anak anakku yang ku pikirkan.
            Pada siapa aku harus mengadu? Pada matua aku, apalagi pada matua aku, aku telah di anggap tidak ada di keluraganya. Aku hanya seperti pembantu di rumahku. Matua aku telah terpikat dengan kata kata manis Dewi. Memang keadaan ekonomi aku ketika belum memanjatkan janji suci lebih kurang dari Dewi. Matua aku lebih senang melihat Dewi dengan ekonominya yang melimpah.
            Aku anak terkahir dari empat bersaudara. Aku mestinya menjadi anak yang berbakti pada orang tua. Bapak memekku menaruh harapan besar padaku. Aku semestinya menjadi anak yang suputri.
            Jujur aku akui. Aku menikah dengan keadaan buncit di perutku. Ketika aku masih remaja, Bli Putu memeberikan kata kata gombalan yang mampu memikat hati aku. Namun hari itu pun terjadi. Kejadian yang tak bisa kulupakan. Prinsip hidup aku sebelum bisa membahagiakan bapak memekku aku tak akan menikah. Tetapi hidupku berbalik.
            Awal pernikahan memang membahagiakan. Aku seperti Ratu yang dimanjakan. Setiap Bli Putu pulang bekerja ia membawakan oleh oleh untuk aku. Sambil mengelus perutku yang terus membuncit. Sekalipun tak ada kata-kata kehancuran, kebencian dipernikahan kami.
Tapi itu dulu. Sekarang telah berubah. Seolah aku tak ada kedudukan di keluargaku.
Hal yang lebih menyakitkan. Hal hal yang pernah terlintas di pikiranku pun terjadi. Aku di suruh pulang! Lantas kemana aku akan pulang? Ke rumahku yang dulu. Tidak mungkin. Orang tuaku sudah menaruh harapan besar padaku. Jika aku pulang ke rumahku dulu, mungkin aku akan di asingkan dari dadiaku, apalagi aku telah berpamit pada leluhurku.
            Bli Putu semakin hari memperlakukan aku seperti pembantu. Dewi semakin beraninya diajak pulang kerumah. Dewi juga sudah tidak lagi menganggapku sebagai sahabatnya. Ia sudah terpenuhi impiannya bersama suamiku Bli Putu.
            Aku dengan meneteskan air mata bertekad besar kembali pulang ke pekarangan tua ku bersama anak anaku. Aku tidak memperdulikan apa yang akan terjadi di rumahku dulu
“pergi kau dari sini, aku sudah punya pendamping yang baru, kau sudah tidak berarti disini!”
“baiklah Bli, aku akan pulang ke rumahku dulu, kita akhiri tali pernikahan kita”
Mereka dengan sontak bertepuk tangan melihat aku pulang.
Di perjalanan aku menghitung keputusanku. Apakah aku sudah benar pulang kerumah sesekali aku memeluk anakku yang masih berumur sembilan tahun. Apakah masa depanku akan cerah kembali. Aku lewati jalan menuju rumahku. Keluarga besarku melihat aku dengan heran. Mungkin di benak mereka berpikir” mengapa aku pulang membawa tas dan anakku”
            Biarkan saja, hal seperti itu terus aku ucapkan di dalam hatiku.
Aku sampai di rumahku dulu. Namun keluarga ku semuanya diam melihatku. Raut wajah di mereka semua nampak marah.

Menyama Braya